Jul 27, 2010

Space

So, at first, I got this job. Bos saya Miranda Priestley (heuhahaha becanda wit!) memberi saya tugas untuk membuat beberapa tulisan, dimana hasil tulisan saya akan disisipkan di beberapa feature dalam majalah wisata lokal (judulnya belum ada) yang akan terbit sekitar September nanti. The next thing happened is.... I got major writer's block! Hahaha ide boleh brilian, tapi ketika berhadapan dengan kualifikasi, nampaknya saya masih harus banyak belajar. Saya beneran deh jarang banget nulis dengan kalimat - kalimat tertutur rapi (liat aja tulisan - tulisan sebelum ini), terlalu rapi takutnya kaku, tapi bebas teuing bisi aya nu kasepet. Ibaratnya perut mules tapi sembelit, kemana - mana ujungnya ga enak. Dengan perjuangan agen 1000 sunlight akhirnya jadilah 3 tulisan (masih capruk) made in saya, dan sampai tulisan ini dibuat, 1 tulisan masih belum selesai (mudah - mudahan pengakuan dosa ini ga diliat sama ibu editor), dimana unfinished write ini berkisah tentang apa saja yang bisa dilakukan di suatu area, dengan budget maxi maupun minim. Saya pun memutar otak untuk mencari kegiatan positif menyenangkan yang bisa dilakukan, berulang kali berpikir tetapi ujung - ujungnya Factory Outlet yang didapat. Lama - lama saya mulai menyadari, kebanyakan wisata yang ditawarkan di kota ini adalah wisata belanja, belanja, dan belanja. Ruang publik? Bisa dihitung dengan jari. Taman kotanya? Sebagian besar kalau tidak terlalu rimbun sehingga cocok untuk berbuat "mistis", dijadikan lahan empuk vandalisme.

Do public space cost that much?

Secara selintas ada benarnya juga sih. Kadang ketika saya selesai beraktifitas tetapi belum ingin kembali ke rumah, saya selalu kebingungan, baiknya pergi kemana? mencari tempat terbuka, inspiring spot yang mudah diakses pengguna suku (kaki, red.) seperti saya ini. Sampai tulisan ini dibuat, saya belum menemukan jawabannya. Ujung - ujungnya ya mesti keluar duit buat segelas minuman dan tempat duduk nyaman dengan pemandangan bagus. But we deserves more than that. oke kalau kita memang memiliki materi, bagaimana dengan orang yang tidak seberuntung kita? Kalau mau menyalahkan semuanya punya peluang salah. Entahlah itu sistem, pemikiran yang berbeda, orang - orangnya, bahkan saya sendiri juga bisa salah, padahal sebenarnya itu memungkinkan.

Ambil contoh Cheonggyecheon, daerah bantaran sungai yang terbentang sepanjang 6 km di Seoul, Korea Selatan. Sebelumnya kawasan ini sangatlah kumuh, dan menjadi "ibukota" aksi kejahatan ketika malam tiba. Keberadaan jalan tol memperburuk lalu lintas disana, dimana masyarakat membangun kehidupan di bawah jalan tol, dan asap knalpot mempertebal polusi kota Seoul. Pada tahun 2003, Presiden Korea Lee myung Bak membuat program restorasi kawasan Cheonggyecheon seluruhnya menjadi ruang publik. Sebuah langkah bernyali besar, karena itu berarti membuang jalan layang Cheonggyedeon yang sudah ada sejak 1978 sehingga menimbulkan protes dari pedagang kaki lima di daerah tersebut dan warga yang menjadi langganan pengguna jalan layang tersebut. Tapi hasilnya? No pain no gain.

The sky colour speak through the photo

the aftertaste. woot!

Efek lain yang diakibatkan seperti efek domino, tetapi dengan kemenangan di akhir. Pengguna kendaraan bermotor berkurang, meningkatnya pengguna sepeda, dan yang terpenting, masyarakat tidak takut untuk berkegiatan di luar, karena benteng kota yang terdiri dari arogansi kendaraan bermotor, udara yang dikuasai polusi, dan geromang berniat busuk tiap malam tiba semuanya runtuh, walau masih tersisa sedikit.

Jadi, apakah sebenarnya kita bisa melakukannya? sebenarnya bisa, yang membawa kita kembali kepada jawaban klise, niat, ditambah taburan aksi nyata dari orang - orang berwenang + dukungan masyarakat sendiri.
Ini baru anggapan pribadi, tapi jika ada yang berpikiran sama dengan saya mungkin akan lebih baik lagi. Jadi saya dapat mengetahui bahwa masyarakat masih membutuhkan ruang apresiasi di kota ini, lebih dari sekedar Factory Outlet baru.

No comments:

Post a Comment